Beberapa waktu terakhir, pemerintah menggagas program Sekolah Rakyat yang bertujuan untuk menjangkau anak-anak dari keluarga miskin dan rentan. Sekilas, niat ini tentu patut diapresiasi. Namun, sebagai seorang pendidik yang mengikuti dinamika pendidikan nasional, saya merasa perlu menyampaikan keberatan terhadap program ini. Bukan karena saya menolak pemerataan akses pendidikan, tapi karena saya melihat banyak hal yang justru bisa membuat program ini menjadi kontra produktif.
1. Pemborosan Biaya Pembangunan
Mendirikan sekolah baru bukanlah perkara kecil. Dibutuhkan anggaran yang besar untuk membangun infrastruktur, menyediakan perlengkapan belajar, hingga menggaji tenaga pengajar. Padahal, saat ini masih banyak sekolah negeri yang kekurangan fasilitas, kekurangan guru, dan murid-muridnya kesulitan membeli seragam, sepatu, atau buku pelajaran. Bukankah akan jauh lebih bijak jika anggaran tersebut dialokasikan untuk meringankan beban siswa di sekolah negeri yang sudah ada? Membebaskan biaya pendidikan secara total – termasuk kebutuhan penunjang seperti seragam dan buku – akan jauh lebih berdampak langsung pada masyarakat.
2. Celah Baru untuk Korupsi
Proyek-proyek baru dengan anggaran besar selalu membuka peluang praktik korupsi, apalagi jika dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa pengawasan ketat. Ketika pembangunan sekolah rakyat dilakukan secara terpisah dari sistem utama pendidikan nasional, akan lebih sulit mengontrol transparansi dan akuntabilitasnya. Di tengah upaya pemerintah memberantas korupsi, membuka celah baru seperti ini justru berisiko memperburuk citra dunia pendidikan kita.
3. Tumpang Tindih Kewenangan
Hal yang paling membingungkan dari sekolah rakyat adalah lembaga pengelolanya. Bukannya dikelola oleh Kementerian Pendidikan, sekolah rakyat justru berada di bawah Kementerian Sosial. Ini menimbulkan kerancuan administratif dan kelembagaan. Bagaimana kurikulum akan ditentukan? Bagaimana standar pendidikan akan dijaga? Siapa yang akan mengawasi kualitas pengajaran? Ini bukan hanya soal birokrasi, tetapi juga soal integritas dan keselarasan sistem pendidikan nasional.
4. Ketidakjelasan Status Guru
Guru-guru di sekolah rakyat pun belum jelas statusnya. Apakah mereka akan diangkat oleh Kemensos? Bagaimana nasib mereka dalam hal karier, tunjangan, dan pelatihan? Apakah mereka akan disamakan dengan guru honorer atau ASN di bawah Kemendikbud? Ketidakjelasan ini dapat menurunkan minat guru untuk bergabung, atau lebih buruk lagi, menyebabkan ketimpangan kualitas pengajaran antar sekolah.
Sekali lagi, saya sangat mendukung pemerataan akses pendidikan untuk seluruh anak bangsa. Namun, alangkah lebih baik jika pemerintah memperkuat sekolah negeri yang sudah ada, memperbaiki sistem yang ada, dan memastikan bahwa anak-anak dari keluarga miskin benar-benar mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak – tanpa perlu membangun sistem baru yang rawan tumpang tindih, pemborosan, dan penyimpangan.
Pendidikan bukan hanya soal membangun sekolah, tapi membangun sistem yang adil, transparan, dan berkelanjutan.
