Kamis, 02 Oktober 2025

Sigareng kedatangan IFP

Bulan ini, sekolah kami kedatangan tamu istimewa — sebuah perangkat canggih dari pemerintah bernama IFP (Interactive Flat Panel).

Sekilas bentuknya mirip televisi raksasa layar sentuh. Tapi begitu dinyalakan, wah… tampilannya keren sekali! Bisa menulis, menggambar, memutar video, bahkan menjalankan aplikasi pembelajaran interaktif. Pokoknya, alat ini seperti perpaduan antara papan tulis, laptop, dan proyektor — semua dalam satu layar besar.

Jujur, saya langsung terpukau.

Akhirnya sekolah kami punya fasilitas secanggih ini!

Tapi begitu semangat itu reda sedikit, muncul satu pertanyaan besar:

“Terus… cara pakainya gimana?” 😅

Ya, masalah klasik setiap ada teknologi baru di sekolah: alatnya datang dulu, ilmunya nanti.

Belum ada satu pun guru yang benar-benar tahu cara mengoperasikan IFP. Bahkan menyalakannya saja sempat bikin bingung — kabel mana yang harus disambungkan, tombol mana yang harus ditekan.

Tapi kami tidak mau menyerah.

Saya bersama kepala sekolah akhirnya sepakat untuk belajar secara otodidak.

Modalnya? YouTube dan niat yang kuat.

Kami menonton video demi video tutorial, mencoba satu per satu fitur, dan kadang harus menertawakan diri sendiri ketika layar tiba-tiba “macet” karena salah sentuh. 😄

Meskipun agak kikuk di awal, saya mulai bisa membayangkan banyak hal menarik.

Saya langsung terpikir untuk membuat media pembelajaran interaktif yang bisa memanfaatkan fitur sentuh, gambar, dan video di IFP ini.

Anak-anak pasti akan lebih semangat belajar kalau bisa langsung berinteraksi dengan layar, menggambar diagram, atau menjawab soal kuis secara langsung.

Bagi saya, IFP bukan sekadar alat canggih — tapi simbol perubahan.

Teknologi ini menantang guru untuk terus belajar dan beradaptasi, agar pembelajaran di kelas semakin hidup dan relevan dengan zaman.

Jadi, meskipun masih dalam tahap belajar sambil mencoba, saya yakin kehadiran IFP akan membawa warna baru bagi pembelajaran di sekolah kami.

Yang penting, jangan takut mencoba. Karena setiap sentuhan di layar itu bukan sekadar klik, tapi langkah kecil menuju pendidikan yang lebih maju.



Senin, 01 September 2025

Sibuk dengan ANBK

Akhir Agustus sampai September, rasanya seperti musim sibuk nasional bagi dunia pendidikan.

Ya, siapa lagi kalau bukan karena ANBK — Asesmen Nasional Berbasis Komputer!

Sebagai guru sekaligus operator ujian, bulan ini benar-benar bikin kepala penuh file, data, dan jadwal simulasi. 😅

Tapi bukan hanya ANBK di sekolah saya sendiri, tahun ini saya juga “kebagian rezeki tambahan” — diminta membantu menjadi operator ANBK untuk tiga SD di sekitar sekolah.

Awalnya saya pikir, “Ah, bantu sedikit saja.”

Eh ternyata... sedikitnya itu seharian penuh! Dari memastikan login peserta, mengatur sesi, memastikan jaringan aman, sampai menenangkan anak-anak yang panik karena tiba-tiba komputer “not responding.” 😅

Capek? Pasti.

Pusing? Jangan ditanya.

Lelah? Tentu saja.

Tapi anehnya, di tengah kelelahan itu… ada rasa senang dan bangga.

Saya melihat anak-anak SD itu semangat sekali mengikuti ANBK.

Ada yang gugup, ada yang penasaran, ada juga yang langsung klik dengan percaya diri (meski kadang belum baca soal 😄). Dari situ saya sadar, tugas saya bukan sekadar jadi operator, tapi juga bagian dari proses mereka tumbuh dan belajar menghadapi dunia digital.

Dan jujur saja… ada motivasi lain juga.

Dengan membantu SD-SD di sekitar sekolah, saya sekaligus bisa promosi halus tentang sekolah saya sendiri. 😅

Siapa tahu nanti anak-anak itu, ketika lulus SD, akan bilang:

“Ah, di SMP itu dulu aku pernah ANBK, gurunya baik, komputernya bagus, sekolahnya asyik — aku mau sekolah di sana aja!”

Jadi, meskipun lelah dan waktunya hampir habis untuk urusan teknis, semua itu tetap terasa berarti.

Karena di balik ribetnya ANBK, ada misi mulia yang sama: demi masa depan anak bangsa.

Dan kalau saya bisa sedikit berperan di dalamnya — bahkan hanya lewat “klik login peserta” — saya rasa itu sudah cukup membuat semua rasa capek jadi sepadan.

Jumat, 01 Agustus 2025

Agustus yang Padat

Setiap kali kalender berganti ke bulan Agustus, saya selalu punya dua perasaan yang campur aduk: semangat dan... sedikit galau. 😅

Agustus memang bulan yang istimewa — bulan kemerdekaan, bulan penuh lomba, bulan di mana suasana sekolah terasa paling meriah. Tapi di balik semua bendera merah putih yang berkibar dan semangat 45 yang membara, ada satu sisi lain yang hanya guru (dan mungkin panitia kegiatan) yang tahu: betapa padatnya kegiatan di bulan ini.

Mulai dari kegiatan agustusan di sekolah: lomba balap karung, tarik tambang, hias kelas, upacara bendera, gladi bersih, lomba kebersihan lingkungan… belum lagi kalau sekolah ikut kegiatan di kecamatan dan bahkan kabupaten.

Kadang rasanya belum selesai satu acara, sudah harus rapat untuk acara berikutnya. 😅

Belum lagi kegiatan kokurikuler, yang juga ikut “menyemarakkan” suasana dengan berbagai lomba bertema kemerdekaan. Semua seru, semua bermakna… tapi ya itu, semuanya butuh tenaga, waktu, dan pikiran.

Di satu sisi, saya senang melihat siswa antusias ikut lomba. Semangat mereka menular! Tapi di sisi lain, kadang saya juga merasa kewalahan. Persiapan administrasi belum beres, rencana pembelajaran tertunda, dan waktu istirahat jadi terasa mewah.

Namun, di tengah rasa lelah itu, ada juga rasa bangga. Karena setiap kegiatan Agustus selalu punya makna — bukan cuma soal lomba, tapi tentang menumbuhkan semangat gotong royong, kerja sama, dan cinta tanah air.

Jadi, walau kadang kepala pening lihat jadwal yang penuh, hati tetap hangat melihat anak-anak tertawa bahagia di lapangan, teman-teman guru saling bantu, dan bendera merah putih berkibar megah di halaman sekolah.

Agustus memang padat. Tapi di balik padatnya kegiatan, selalu ada makna yang membuat semua terasa layak dijalani.

Capek? Iya.

Tapi kalau untuk semangat kemerdekaan dan kebersamaan di sekolah tercinta — ya, saya siap! 🇮🇩❤️

Minggu, 20 Juli 2025

Pembelajaran Mendalam, Koding... Apa lagi ini...

Tiap tahun ajaran baru, rasanya seperti buka halaman baru dalam buku kehidupan seorang guru.

Tapi entah kenapa, setiap kali lembar itu dibuka… selalu ada saja istilah-istilah baru yang bikin kepala ikut muter. 😅

Dulu sempat heboh dengan pembelajaran berdiferensiasi, belum juga benar-benar paham, eh sekarang muncul lagi pembelajaran mendalam, koding, AI dalam pembelajaran… dan entah apa lagi nanti. Kadang saya berpikir, “Ini sekolah apa startup teknologi, sih?” 😄

Tapi ya begitulah dunia pendidikan sekarang — selalu berkembang. Kadang terasa cepat banget, sampai kita yang di dalamnya harus terus mengejar biar nggak ketinggalan.

Jujur, kadang ada rasa galau juga.

Mampu nggak ya saya menyesuaikan diri?

Bisa nggak saya memahami semua istilah baru ini?

Tapi di sisi lain, saya juga sadar… kalau saya berhenti belajar, berarti saya berhenti tumbuh.


Istilah-istilah itu sebenarnya bukan beban, tapi ajakan untuk berkembang.

“Pembelajaran mendalam” misalnya, sebenarnya cuma mengingatkan kita untuk bikin siswa nggak cuma hafal, tapi benar-benar paham.

Lalu “koding” bukan berarti semua guru harus jadi programmer, tapi mengajarkan anak berpikir logis, kreatif, dan sistematis — skill yang mereka butuhkan di masa depan.

Akhirnya saya sadar: yang paling penting bukan seberapa cepat saya menguasai hal baru, tapi seberapa besar kemauan saya untuk belajar hal baru.

Itu kuncinya — growth mindset.

Tahun ajaran baru ini, saya mau tetap semangat.

Kalau pun masih bingung, ya tidak apa-apa.

Pelan-pelan saja, yang penting terus bergerak, terus belajar. Karena guru yang terus belajar… akan selalu punya semangat muda.

Selasa, 10 Juni 2025

Program MBG, Harapan dan Kekhawatiran

Belakangan ini, dunia pendidikan kembali ramai dengan program baru dari pemerintah: MBG — Makan Bergizi Gratis.

Sebagai seorang guru, saya pribadi menyambut baik program ini.

Bayangkan saja, anak-anak datang ke sekolah tidak lagi dengan perut kosong. Mereka bisa belajar dengan lebih fokus, semangat, dan ceria karena kebutuhan gizinya terpenuhi. Bagi saya, itu bukan hal sepele.

Anak yang cukup gizi punya energi untuk berpikir, berinteraksi, dan tumbuh dengan sehat — baik secara fisik maupun mental.

Selain itu, program MBG ini bisa jadi penarik minat siswa di daerah pedesaan untuk lebih rajin datang ke sekolah. Banyak anak di pelosok yang terkadang absen bukan karena malas, tapi karena kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan. Kalau di sekolah ada jaminan makan bergizi gratis, tentu semangat mereka untuk hadir akan meningkat.

Jadi, secara tujuan, saya sangat mendukung.

Namun, di balik dukungan itu, saya juga tidak bisa menutup mata terhadap satu hal yang mengganjal di hati: besarnya dana yang terlibat.

Kita semua tahu, semakin besar anggaran, semakin besar pula potensi penyimpangan kalau tidak diawasi dengan baik.

Program sebagus apapun bisa kehilangan maknanya jika tidak dijalankan dengan jujur.

Saya hanya berharap, MBG tidak berubah menjadi ladang korupsi baru di lingkungan pendidikan.

Sungguh sayang jika niat baik untuk menyehatkan anak bangsa justru dikotori oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.

Harapan saya sederhana:

Semoga program ini benar-benar menyentuh sasaran.

Semoga makanan yang diberikan betul-betul bergizi, bukan sekadar formalitas laporan.

Dan semoga semua pihak yang terlibat menjaga integritas demi masa depan anak-anak Indonesia.

Karena pada akhirnya, yang kita perjuangkan bukan sekadar program… tapi generasi yang tumbuh sehat, cerdas, dan jujur. 

Sabtu, 12 April 2025

Berpendapat tentang Gagasan Sekolah Rakyat: Antara Niat Baik dan Realitas yang Membingungkan

Beberapa waktu terakhir, pemerintah menggagas program Sekolah Rakyat yang bertujuan untuk menjangkau anak-anak dari keluarga miskin dan rentan. Sekilas, niat ini tentu patut diapresiasi. Namun, sebagai seorang pendidik yang mengikuti dinamika pendidikan nasional, saya merasa perlu menyampaikan keberatan terhadap program ini. Bukan karena saya menolak pemerataan akses pendidikan, tapi karena saya melihat banyak hal yang justru bisa membuat program ini menjadi kontra produktif.

1. Pemborosan Biaya Pembangunan

Mendirikan sekolah baru bukanlah perkara kecil. Dibutuhkan anggaran yang besar untuk membangun infrastruktur, menyediakan perlengkapan belajar, hingga menggaji tenaga pengajar. Padahal, saat ini masih banyak sekolah negeri yang kekurangan fasilitas, kekurangan guru, dan murid-muridnya kesulitan membeli seragam, sepatu, atau buku pelajaran. Bukankah akan jauh lebih bijak jika anggaran tersebut dialokasikan untuk meringankan beban siswa di sekolah negeri yang sudah ada? Membebaskan biaya pendidikan secara total – termasuk kebutuhan penunjang seperti seragam dan buku – akan jauh lebih berdampak langsung pada masyarakat.

2. Celah Baru untuk Korupsi

Proyek-proyek baru dengan anggaran besar selalu membuka peluang praktik korupsi, apalagi jika dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa pengawasan ketat. Ketika pembangunan sekolah rakyat dilakukan secara terpisah dari sistem utama pendidikan nasional, akan lebih sulit mengontrol transparansi dan akuntabilitasnya. Di tengah upaya pemerintah memberantas korupsi, membuka celah baru seperti ini justru berisiko memperburuk citra dunia pendidikan kita.

3. Tumpang Tindih Kewenangan

Hal yang paling membingungkan dari sekolah rakyat adalah lembaga pengelolanya. Bukannya dikelola oleh Kementerian Pendidikan, sekolah rakyat justru berada di bawah Kementerian Sosial. Ini menimbulkan kerancuan administratif dan kelembagaan. Bagaimana kurikulum akan ditentukan? Bagaimana standar pendidikan akan dijaga? Siapa yang akan mengawasi kualitas pengajaran? Ini bukan hanya soal birokrasi, tetapi juga soal integritas dan keselarasan sistem pendidikan nasional.

4. Ketidakjelasan Status Guru

Guru-guru di sekolah rakyat pun belum jelas statusnya. Apakah mereka akan diangkat oleh Kemensos? Bagaimana nasib mereka dalam hal karier, tunjangan, dan pelatihan? Apakah mereka akan disamakan dengan guru honorer atau ASN di bawah Kemendikbud? Ketidakjelasan ini dapat menurunkan minat guru untuk bergabung, atau lebih buruk lagi, menyebabkan ketimpangan kualitas pengajaran antar sekolah.

Sekali lagi, saya sangat mendukung pemerataan akses pendidikan untuk seluruh anak bangsa. Namun, alangkah lebih baik jika pemerintah memperkuat sekolah negeri yang sudah ada, memperbaiki sistem yang ada, dan memastikan bahwa anak-anak dari keluarga miskin benar-benar mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak – tanpa perlu membangun sistem baru yang rawan tumpang tindih, pemborosan, dan penyimpangan.

Pendidikan bukan hanya soal membangun sekolah, tapi membangun sistem yang adil, transparan, dan berkelanjutan.